Minggu, 13 Juli 2014

Inilah Penyebab Hasil Quick Count Bisa Berbeda

Inilah Penyebab Hasil Quick Count Bisa Berbeda

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi) Yunarto Wijaya (dari kiri ke kanan), Ketua Umum Nico Harjanto, Anggota Dewan Etik Hamdi Muluk, dan anggota Persepi Hanta Yuda (kanan), memberikan keterangan mengenai karut-marut hasil quick count Pemilihan Umum 2014, di Jakarta, Rabu (9/7/2014). Persepi mengakui perbedaan hasil quick count dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan dasar pemikiran itu, Persepsi meminta kepada seluruh lembaga survei memberitakan hasil audit dan diumumkan kepada publik. (Nurul Hidayat/JIBI/Bisnis)Sekretaris Jenderal Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi) Yunarto Wijaya (dari kiri ke kanan), Ketua Umum Nico Harjanto, Anggota Dewan Etik Hamdi Muluk, dan anggota Persepi Hanta Yuda (kanan), memberikan keterangan mengenai karut-marut hasil quick count Pemilihan Umum 2014, di Jakarta, Rabu (9/7/2014). Persepi mengakui perbedaan hasil quick count dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan dasar pemikiran itu, Persepsi meminta kepada seluruh lembaga survei memberitakan hasil audit dan diumumkan kepada publik. (Nurul Hidayat/JIBI/Bisnis) 
Persepi Mendadak Mewajibkan Lembaga Survei Diaudit
Adanya perbedaan hasil quick count (hitung cepat) Pilpres 2014 yang dilakukan sejumlah lembaga survei membingungkan masyarakat. Padahal seharusnya setiap lembaga survei menggunakan metode yang sama dalam melakukan quick count.
Buntutnya, organisasi Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepsi) akan meminta klarifikasi dan melakukan audit terhadap seluruh lembaga survei yang dinaunginya. Peneliti Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan hasil quick count.
Pertama adalah faktor sampel. Menurut dia, lembaga survei harus menmggunakan sampel tempat pemungutan suara (TPS) yang proporsional, bukan hanya menggunakan sampel di TPS yang menjadi basis suara pasangan tertentu.
“Samplingnya, itu juga metodologinya harus dilakukan dengan benar. Bisa saja samplingnya tidak proporsional, jadi lebih bias ke TPS basis calon tertentu,” jelas Djayadi Hanan saat dihubungi Bisnis/JIBI, Kamis (10/7/2014).
Faktor kedua adalah adanya kesengajaan atau niat dari lembaga survei tersebut untuk melakukan manipulasi sehingga hasil yang didapat berbeda dengan lembaga survei kebannyakan. “Faktor lain manipulasi atau adanya kesengajaan. Itu ya kemungkinan-kemungkinannya,” imbuhnya.

Sedangkan faktor yang ketiga, sambungnya, adalah margin of error. Selisih antar pasangan, menurut Djayadi Hanan, minimal harus dua kali jumlah margin of error. “Jika selisih lebih kecil atau sama dengan margin of error, tidak bisa disebutkan siapa yang menang dan siapa yang kalah,” ujarnya.

sumber : solopos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar